Probolinggo — Polemik kasus dugaan penganiayaan terhadap Suarni, seorang warga Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, kembali mencuat setelah Ketua LSM LIBAS88, Muhyiddin, menyoroti lambannya penanganan perkara yang telah berjalan hampir sembilan bulan tanpa kejelasan hukum.
Kasus yang melibatkan seorang warga negara asing (WNA) pemilik Villa88 ini sebelumnya menjadi perhatian publik lantaran korban, yang merupakan seorang janda, diduga mengalami kekerasan brutal di tempat kejadian.
Menurut informasi yang berkembang, Suarni diduga dianiaya menggunakan asbak keramik, vas bunga, dan mainan mobil-mobilan, bahkan dipukul dengan tangan kosong, ditendang, serta diinjak-injak hingga tak berdaya dan terkencing di tempat.
Laporan kasus ini telah masuk ke Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Probolinggo, namun hingga kini, proses hukumnya belum menunjukkan perkembangan berarti.
Sebelumnya, Muklis, anggota Komisi I DPRD Kabupaten Probolinggo, menyampaikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian terkait perkembangan kasus tersebut.
Ia mengatakan, pihak kepolisian masih memerlukan satu orang saksi ahli untuk dimintai keterangan, dan ada kendala teknis karena terduga pelaku adalah WNA.
“Ada satu saksi ahli yang harus dimintai keterangan. Dan ada kendala kemarin untuk meminta keterangan karena terduga adalah WNA. Itu yang disampaikan Polres ke kami,” ujar Muklis, Sabtu (8/11/2025).
Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua LSM LIBAS88, Muhyiddin, menegaskan bahwa alasan terkait status WNA tidak dapat dijadikan pembenaran untuk memperlambat proses hukum.
Menurutnya, siapapun yang berada di wilayah hukum Indonesia, wajib tunduk pada peraturan yang berlaku tanpa pengecualian.
“Apapun alasannya, siapapun warganya, begitu sudah masuk ke teritorial NKRI maka wajib mengikuti regulasi yang ada. Hukum wajib tegak lurus, entah itu rakyat jelata maupun orang besar,” tegas Muhyiddin.
Ia menambahkan, bahwa lembaganya tidak bermaksud mengintervensi aparat penegak hukum, namun menuntut adanya rasa keadilan yang nyata bagi masyarakat kecil seperti Suarni.
“Kami tidak ingin mengintervensi APH. Tapi rasa keadilan itu harus benar-benar dirasakan masyarakat kecil. Jangan berbelit-belit. Kalau alat bukti sudah lengkap, segera tetapkan tersangkanya,” ujarnya.
Muhyiddin menyebut, dalam kasus ini telah terdapat alat bukti kuat berupa visum, barang bukti, dan saksi-saksi, sehingga alasan belum adanya penetapan tersangka menjadi tanda tanya besar di masyarakat.
Ia menegaskan, aparat penegak hukum tidak boleh ragu dalam menegakkan hukum terhadap siapapun, termasuk warga asing yang berada di Indonesia.
“Kalau sudah cukup alat bukti, ya segera tetapkan tersangka. Kalau mau menghadirkan saksi ahli karena terlapor seorang WNA, saksi ahli seperti apa yang dibutuhkan dan dari universitas mana? Jangan sampai alasan ini hanya menjadi tameng untuk memperlambat keadilan,” ujarnya dengan nada tegas.
Menurut Muhyiddin, kasus Suarni menjadi potret nyata bagaimana keadilan sering kali berjalan lamban ketika menyangkut masyarakat kecil.
Ia menyerukan agar pihak kepolisian bertindak profesional dan transparan dalam mengusut tuntas kasus ini, agar hukum benar-benar menjadi panglima di negeri sendiri.
“Negara ini punya hukum yang harus dihormati oleh siapa pun. Jangan sampai rakyat kecil merasa hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, apalagi terhadap warga asing,” pungkasnya.
Kasus dugaan penganiayaan terhadap Suarni bukan hanya menjadi ujian bagi penegakan hukum di Kabupaten Probolinggo, tetapi juga mencerminkan sejauh mana aparat mampu menjamin persamaan di hadapan hukum tanpa diskriminasi.
LSM LIBAS88 menegaskan akan terus memantau perkembangan kasus ini dan siap melaporkannya ke lembaga hukum yang lebih tinggi jika proses keadilan masih berlarut-larut.
(Edi D/Red/*)






