banner 728x250

Skandal PTSL Tambak Ploso: Warga Dipalak Rp850 Ribu, Wartawan Dihadang

Skandal PTSL Tambak Ploso: Warga Dipalak Rp850 Ribu, Wartawan Dihadang
banner 120x600
banner 468x60

LAMONGAN – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya menjadi solusi kepastian hukum atas tanah warga, justru diduga kuat dijadikan ajang praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum panitia di Desa Tambak Ploso, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Warga dimintai biaya hingga Rp850 ribu per sertifikat—angka yang sangat mencolok dibandingkan tarif resmi Rp150 ribu yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri.

Salah satu warga Dusun Ploso berinisial UM (60) mengaku kecewa dan merasa dipermainkan oleh panitia pelaksana PTSL. Menurutnya, pada awal sosialisasi disebutkan bahwa biaya yang dibebankan hanya Rp150 ribu. Namun dalam pertemuan musyawarah desa, panitia secara sepihak menaikkan nominal menjadi Rp850 ribu.

banner 325x300

“Awalnya memang dibilang Rp150 ribu, sesuai aturan. Tapi saat musyawarah di balai desa, panitia mendadak mengumumkan biaya naik jadi Rp850 ribu. Kami jelas keberatan, apalagi sebagian besar warga di sini bukan dari kalangan mampu,” ujar UM, Jumat (9/5/2025).

Lebih mencurigakan lagi, lanjut UM, sistem pembayaran yang ditawarkan juga tak lazim. Warga diizinkan membayar secara cicil: setengahnya saat pengajuan berkas dan sisanya ketika sertifikat telah jadi. Skema ini diduga digunakan untuk menyamarkan praktik pungli agar terkesan seolah prosedural.

Tak hanya itu, upaya wartawan untuk menggali keterangan dari Kepala Desa Tambak Ploso maupun Ketua Panitia PTSL bernama Bambang menemui jalan buntu. Ketika awak media mendatangi kantor desa, sejumlah pria tak dikenal yang diduga merupakan suruhan panitia menunjukkan sikap tak bersahabat. Mereka menghadang wartawan, melarang mendekat ke narasumber, serta melontarkan nada intimidatif.

Situasi tersebut memicu reaksi keras dari kalangan aktivis. Ketua LSM Forum Pemantau Sosial Reformasi (FPSR), Aris Gunawan, menilai insiden tersebut sebagai indikasi kuat bahwa ada upaya sistematis untuk menutupi dugaan penyimpangan dalam program PTSL.

“Pungli sebesar itu sudah jelas melanggar hukum. Tapi yang lebih memprihatinkan, wartawan yang mencoba menggali kebenaran malah dihadang preman. Ini bukan lagi pelanggaran administratif, tapi sudah mengarah pada tindakan kriminal. Harus ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum,” tegas Aris.

Aris juga mendesak agar Inspektorat Daerah Kabupaten Lamongan serta Kejaksaan Negeri segera turun tangan untuk melakukan audit investigatif terhadap seluruh proses PTSL di Tambak Ploso. Menurutnya, jika dibiarkan, praktik semacam ini akan mencoreng kredibilitas program nasional yang diluncurkan untuk membantu rakyat kecil memperoleh hak atas tanah.

“PTSL itu program dari Presiden. Tapi di lapangan diselewengkan. Ini bukan soal uang Rp850 ribu semata, tapi soal keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat,” tandasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Tambak Ploso belum memberikan keterangan resmi, sementara Ketua Panitia Bambang tidak berada di tempat dan sulit dihubungi. Skandal ini semakin mencurigakan karena muncul dugaan bahwa elemen perangkat desa turut terlibat atau setidaknya membiarkan praktik tersebut berlangsung.

Dengan mengedepankan prinsip keterbukaan informasi dan supremasi hukum, masyarakat kini menunggu tindakan nyata dari penegak hukum dan pemerintah daerah. PTSL yang mestinya memudahkan rakyat justru berubah menjadi ladang bancakan. Panitia bungkam, Kades diam, Bambang menghilang, preman dikerahkan. Skandal ini menanti dibongkar—dan pelaku harus dimintai pertanggungjawaban. (**)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *