Kuningan — Polemik pembangunan objek wisata di kawasan Cigugur kembali mencuat setelah berbagai elemen masyarakat, aktivis lingkungan, dan pemerhati kebijakan menyoroti maraknya alih fungsi lahan yang dinilai tidak sejalan dengan regulasi tata ruang. Pemerintah daerah didesak mempertegas penerapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 29 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan Tahun 2011–2031.
Kawasan Cigugur dalam satu dekade terakhir berkembang pesat. Aktivitas permukiman, bangunan bisnis, destinasi wisata, pertanian hingga peternakan tumbuh berdampingan tanpa kendali ketat. Namun, perkembangan tersebut membawa dampak serius terhadap lingkungan, mulai dari berkurangnya daya dukung lahan, meningkatnya risiko longsor, banjir di wilayah hilir, pencemaran sungai akibat limbah usaha maupun rumah tangga, hingga menurunnya debit air.
Kondisi tersebut menguatkan kembali urgensi regulasi tata ruang yang terstruktur dan komprehensif sebagai dasar perizinan pembangunan, terutama di area sensitif seperti Cigugur.
RTRW Bukan Satu-satunya Regulasi: RDTR Mendesak Disusun
Saat ini Pemkab Kuningan hanya memiliki satu regulasi tata ruang, yakni Perda Nomor 29 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Kuningan 2011–2031. Perda tersebut mengatur tata ruang secara umum, namun belum memberikan rincian teknis yang dibutuhkan sebagai pedoman pembangunan detail.
Sesuai ketentuan, RTRW seharusnya diturunkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dokumen RDTR menjadi pedoman lebih spesifik mengenai pemanfaatan ruang, termasuk persentase lahan yang boleh dibangun, lokasi yang harus dilindungi, hingga spesifikasi teknis konstruksi dan instalasi lingkungan.
RDTR juga mengatur fungsi ekonomi kawasan, seperti pola pertanian, lokasi peternakan, pembangunan sarana prasarana, serta pengaturan aktivitas pendukung lainnya. Tanpa RDTR, implementasi RTRW sering menimbulkan tafsir yang berbeda-beda antara masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah.
Kesalahan Tafsir Kawasan Cigugur Sebagai Permukiman Perkotaan
Selama ini, pembangunan di Cigugur sering berpegang pada penjelasan RTRW Pasal 49 ayat (1) huruf b yang menyebutkan kawasan Kuningan–Cigugur masuk dalam rencana kawasan permukiman perkotaan. Penafsiran tersebut akhirnya dianggap membuka ruang bagi berbagai pembangunan seperti perumahan, perkantoran, tempat wisata, hingga fasilitas hiburan.
Padahal, ketentuan dalam pasal tersebut bersifat umum, sehingga memerlukan penjabaran lebih detail melalui RDTR untuk menentukan area mana yang boleh dibangun dan dengan batasan seperti apa.
Kasus Wisata Arunika: “Ada Apa dengan Pemda Kuningan?”
Pembangunan objek wisata Arunika di Kecamatan Cigugur menjadi salah satu contoh yang kini disorot publik. Berdasarkan RTRW Kabupaten Kuningan Pasal 48, zona pariwisata terbagi menjadi kawasan pariwisata alam, budaya, dan buatan.
Arunika sebagai wisata buatan seharusnya berada di wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan pariwisata buatan sesuai pasal 48 poin (c). Namun berdasarkan dokumen RTRW, wilayah Desa Cigugur dan Desa Cisantana—dua desa lokasi berdirinya Arunika—tidak termasuk dalam kawasan pariwisata baik alam, budaya, maupun buatan.
Hal inilah yang menjadi akar polemik. Aktivis lingkungan dan masyarakat mempertanyakan dasar perizinan pembangunan Arunika karena secara administratif Cigugur bukan kawasan pariwisata sesuai RTRW yang berlaku.
“Jika begitu, ada apa dengan Pemda Kuningan?” menjadi pertanyaan yang kini banyak disuarakan berbagai pihak.
Cigugur: Kawasan Rawan Longsor, Resapan Air, dan Cagar Budaya
RTRW Kabupaten Kuningan 2011–2031 menempatkan Cigugur sebagai kawasan penting dengan banyak fungsi strategis:
- Kawasan resapan air (Pasal 29)
- Kawasan pelestarian alam dan cagar budaya, termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dan cagar budaya Paseban (Pasal 31)
- Kawasan rawan longsor (Pasal 32)
- Kawasan rawan bencana letusan gunung berapi (Pasal 33)
- Termasuk dalam kawasan strategis fungsi lingkungan hidup (Pasal 53)
Pada ketentuan zonasi kawasan lindung, khususnya zona resapan air, penggunaan ruang untuk bangunan maksimal hanya 10% dari luas lahan dengan syarat arsitektur budaya setempat. Jalan yang boleh dibangun pun hanya selebar 4 meter dan tidak diperkeras.
Dengan karakteristik lingkungan yang rentan, setiap pembangunan di Cigugur seharusnya mengikuti pengaturan ketat tersebut.
Perda Harus Ditegakkan, RDTR Perlu Segera Disusun
Melihat kompleksitas kepentingan dan benturan antara kebutuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kepentingan pariwisata, Pemkab Kuningan diminta bersikap tegas menjalankan Perda RTRW 2011–2031 dan segera merampungkan penyusunan RDTR Kuningan–Cigugur sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 57.
Perizinan pembangunan apa pun, terutama objek wisata, wajib memberikan kepastian hukum dan transparansi kepada masyarakat. Penegakan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang juga harus tegas, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 dan 107 Perda RTRW.
Pemerhati lingkungan mengingatkan, tanpa pengendalian tata ruang yang disiplin, Cigugur berpotensi mengalami bencana ekologis sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah lain seperti banjir bandang dan longsor di Sumatra.
“Demi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat, aturan tata ruang harus menjadi pedoman utama setiap pembangunan,” tegas sejumlah aktivis dalam aspirasinya.
Semoga Kuningan mampu menjaga keseimbangan pembangunan dan lingkungan demi keberlanjutan generasi mendatang.
(Edi D/PRIMA/**)






