KUNINGAN (Investigasi88.com) — Polemik pembangunan di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), khususnya di wilayah Cigugur, kembali mencuat setelah Forum Masyarakat Sipil Independen (Formasi) menilai penjelasan manajemen Puspita Cipta Group tidak konsisten dan cenderung mencari pembenaran atas aktivitas pembangunan yang telah dilakukan di area yang memiliki status perlindungan ketat tersebut.
Ketua Formasi, Manap Suharnap, menyampaikan bahwa apa pun bentuk aktivitas pemanfaatan lahan di kawasan konservasi wajib mengikuti regulasi yang berlaku, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Daerah. Menurutnya, tidak ada ruang bagi pembangunan yang dilakukan tanpa kepastian izin dan kajian lingkungan.
“Ini kawasan konservasi, kawasan resapan air. Ada aturan ketat di sana. Bukan tempat eksperimen bisnis atau proyek yang belum jelas izinnya. Semua pemanfaatan ruang harus sesuai regulasi, bukan sesuai kepentingan pengembang,” tegas Manap, Selasa (10/12/2025).
Ia menekankan bahwa tata ruang kawasan Cigugur telah ditetapkan secara jelas melalui Perda No. 26 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Kuningan yang berlaku hingga 2031. Meski status lahan di kawasan itu beragam—mulai dari lahan negara, adat, pemda, hingga masyarakat—seluruhnya tetap berada di bawah ketentuan hukum yang sama sebagai bagian dari kawasan konservasi.
Klaim Manajemen Dianggap Janggal
Formasi menilai pernyataan Puspita Cipta Group justru menimbulkan tanda tanya besar. Meski pihak perusahaan mengklaim belum memiliki rencana pembangunan besar, fakta lapangan menunjukkan adanya aktivitas konstruksi, termasuk pembangunan hotel Arunika, pembukaan jalan menggunakan alat berat, serta penggarapan lahan secara masif pada sejumlah titik.
“Penjelasannya muter-muter. Katanya tidak ada pembangunan, tapi hotel berdiri. Katanya reboisasi, tapi mereka sendiri yang mengikis dan menebang pohon. Itu bukan klarifikasi, itu alibi,” kata Manap.
Pihak perusahaan sebelumnya beralasan bahwa pembangunan jalan dilakukan untuk memudahkan akses pengangkutan bibit pohon dan sebagai persiapan pembuatan hutan tematik serta laboratorium alam atau arboretum. Namun bagi Formasi, penjelasan tersebut dinilai tidak relevan dan menunjukkan ketidakpahaman terhadap prinsip konservasi.
“Ini kawasan resapan air, bukan lahan coba-coba. Pohon tidak bisa ditanam sembarangan. Ada jenis-jenis yang boleh dan tidak boleh. Jangan berdalih reboisasi padahal kegiatan sebelumnya justru merusak,” tegasnya.
Agrowisata dan Arboretum Tetap Wajib AMDAL
Formasi juga menyoroti rencana pengembangan hutan tematik, arboretum, hingga agrowisata. Menurut Manap, apa pun namanya, aktivitas tersebut masuk dalam kategori usaha pariwisata dan wajib menyertakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Menyebutnya hutan tematik atau laboratorium alam tidak menghapus kewajiban AMDAL. Itu tetap usaha pariwisata. Aturannya jelas: wajib analisis dampak lingkungan sebelum alat berat masuk, sebelum pohon ditebang, sebelum apa pun dimulai,” tegasnya.
Publik juga mempertanyakan apakah pembangunan hotel Arunika sendiri telah melalui proses AMDAL, mengingat posisinya berada di kawasan konservasi yang berfungsi penting sebagai resapan air bagi daerah Kuningan dan wilayah sekitarnya.
Pola Pelanggaran Berulang
Manap menegaskan bahwa permasalahan ini bukan hanya terkait satu bangunan atau satu perusahaan. Ia menyoroti bahwa banyak objek wisata dan pembangunan di wilayah Cigugur hingga lereng Ciremai telah berjalan tanpa izin lengkap, bahkan tanpa kajian lingkungan sama sekali.
“Ini fenomena lama di Kuningan: bangun dulu, urus izin nanti setelah ketahuan. Pemerintah harus berhenti membiarkan pola ini, apalagi di kawasan konservasi,” ujarnya.
Menurutnya, jika pemerintah terus membiarkan pembangunan tanpa pengawasan, kerusakan ekologis di kawasan Gunung Ciremai hanya tinggal menunggu waktu, terutama mengingat daerah tersebut merupakan salah satu penyangga ekosistem terpenting di Jawa Barat.
Diduga Langgar UU Lingkungan Hidup
Formasi mengungkapkan bahwa berbagai aktivitas pembukaan lahan dan pembangunan fasilitas wisata di kawasan konservasi telah bersinggungan dengan banyak ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain:
- Pasal 12–14: Kewajiban pemerintah menjaga daya dukung kawasan lindung
- Pasal 22–28: Kewajiban AMDAL/UKL-UPL
- Pasal 36: Izin lingkungan sebagai syarat izin usaha
- Pasal 67 & 69: Larangan merusak lingkungan dan membuka lahan tanpa kendali
- Pasal 76–82: Sanksi administratif
- Pasal 98–109: Sanksi pidana bagi kegiatan tanpa izin lingkungan
- Pasal 87: Tanggung jawab pemulihan dan ganti rugi
“Kegiatan tanpa izin lingkungan itu bukan pelanggaran kecil, itu tindak pidana. Ada sanksi tegasnya. Pemerintah harus menggunakan kewenangannya, bukan hanya menonton,” tegas Manap.
Desakan Kepada Pemkab Kuningan
Di akhir pernyataannya, Manap meminta Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk segera bertindak tegas.
“Kami minta pemerintah mengusut tuntas dugaan pelanggaran yang sudah terjadi. Jangan tunggu rusak dulu baru ribut. Kawasan konservasi itu warisan lingkungan, bukan proyek komoditas,” tutupnya.
Formasi menilai bahwa hanya dengan penegakan hukum yang konsisten, kerusakan kawasan TNGC dapat dicegah dan keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang dapat terjaga.
(Edi D/Tim Prima/**)






