MAJALENGKA – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Majalengka kembali membanggakan diri setelah menerima Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2023. Namun di balik klaim prestasi tersebut, publik mempertanyakan apakah penghargaan ini benar-benar mencerminkan kualitas tata kelola anggaran atau sekadar keberhasilan administratif yang dibungkus rapi dalam laporan formal.
WTP tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor: 44A/LHP/XVIII.BDG/05/2024, yang oleh banyak pihak disebut sebagai “sertifikat kerapian akuntansi”, bukan indikator efektivitas atau transparansi penggunaan anggaran.
Prestasi atau Sekadar Ilusi Administratif?
Opini WTP sering kali dipromosikan sebagai simbol keberhasilan pemerintah daerah. Namun pada kenyataannya, opini tersebut hanya memastikan bahwa laporan keuangan disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Artinya, Pemkab Majalengka telah menyusun neraca, laporan realisasi anggaran (LRA), laporan operasional (LO), dan laporan arus kas (LAK) dengan format yang benar.
Namun, WTP tidak menjawab apakah anggaran triliunan rupiah telah digunakan secara efektif, efisien, bebas dari pemborosan, apalagi terbebas dari praktik manipulatif yang sering menjadi sorotan publik.
Banyak pengamat menilai, prestasi ini kerap dijadikan alat propaganda politik untuk menunjukkan bahwa tata kelola baik-baik saja, padahal laporan keuangan yang rapi tidak otomatis mencerminkan bahwa pengelolaan anggaran benar-benar bersih dan tepat sasaran.
Di Mana LHP Buku II? Temuan-Tersembunyi yang Tidak Pernah Dibuka ke Publik
Di balik opini WTP selalu ada dokumen krusial lain, yaitu Buku II LHP BPK yang memuat pemeriksaan terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI) serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pertanyaannya: mengapa dokumen yang lebih penting ini tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat?
Buku II inilah yang biasanya menyimpan temuan-temuan seperti:
- ketidakpatuhan penggunaan anggaran,
- kelemahan sistem birokrasi,
- potensi kerugian negara,
- pengelolaan aset daerah yang tidak tertib,
- hingga peluang kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tanpa membuka detail tersebut, publik melihat WTP Majalengka 2023 hanya sebagai “nilai kosmetik”—rapi di permukaan, namun bisa saja menyimpan masalah serius yang tidak dijelaskan secara terang.
“Jika laporan keuangan benar-benar sempurna, seharusnya tidak ada temuan dalam SPI, tidak ada catatan ketidakpatuhan, dan tidak ada rekomendasi perbaikan,” ujar salah satu pemerhati kebijakan publik Majalengka yang enggan disebut namanya.
Ketika WTP Tidak Berbanding Lurus dengan Kinerja Pelayanan Publik
Publik Majalengka menuntut transparansi, karena WTP yang berulang setiap tahun tidak serta-merta dibarengi dengan:
- peningkatan kualitas pelayanan publik,
- penyerapan anggaran yang efektif,
- pengelolaan proyek fisik yang tidak mangkrak,
- tata kelola aset yang tertib,
- maupun penurunan potensi penyimpangan anggaran.
Sejumlah warga bahkan menilai WTP sering dijadikan “perisai kebanggaan” oleh pejabat daerah untuk meredam kritik serta mengklaim bahwa Majalengka sudah memiliki sistem akuntabilitas yang baik, padahal berbagai persoalan layanan publik masih mudah ditemukan di lapangan.
Desakan kepada BPK: Jangan Hanya Beri Opini, Tapi Kawal Tindak Lanjut
Pengamat tata kelola pemerintahan mendesak BPK agar tidak berhenti pada pemberian opini. Rekomendasi-rekomendasi dalam Buku II harus didorong agar ditindaklanjuti secara tuntas, transparan, dan dapat diakses publik.
“BPK wajib memastikan bahwa setiap temuan diperbaiki, bukan hanya dicatat sebagai formalitas. Kalau WTP hanya jadi alat pembenaran bagi pejabat, itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip akuntabilitas,” ujar seorang aktivis antikorupsi lokal.
Pemkab Majalengka pun dituntut untuk membuka akses informasi seluas-luasnya mengenai tindak lanjut audit, termasuk detail rekomendasi BPK dan progres penyelesaiannya.
Agar WTP Tidak Menjadi Simbol Kemunafikan Administratif
WTP seharusnya tidak menjadi tujuan akhir, melainkan awal dari peningkatan kualitas tata kelola. Jika Pemkab Majalengka tetap mempertahankan pola kebanggaan berlebihan terhadap opini WTP tanpa memperbaiki area lain yang lebih substansial, maka WTP tersebut tidak lebih dari simbol kemunafikan administrasi—bersih di atas kertas, tetapi menyisakan persoalan di lapangan.
Publik menunggu bukti nyata, bukan sekadar sertifikat opini dari lembaga auditor negara.
(Edi D/Tim Redaksi Prima/)**






