Probolinggo – Riak politik di Kota Probolinggo kembali memanas. Sorotan publik kali ini tertuju pada dr. Evariani, anggota DPRD Kota Probolinggo dari Komisi II yang juga istri Wali Kota Probolinggo. Perjalanan dirinya ke Malaysia pada 12 Agustus 2025 memunculkan tanda tanya besar terkait status keikutsertaannya—apakah sebagai anggota legislatif atau sebagai istri wali kota.
Pertanyaan tersebut mencuat lantaran perjalanan luar negeri pejabat publik memiliki prosedur perizinan yang diatur ketat, khususnya berdasarkan Permendagri Nomor 29 Tahun 2016. Regulasi ini menegaskan, setiap anggota DPRD yang hendak bepergian ke luar negeri wajib memperoleh izin dari Menteri Dalam Negeri, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Ketua Komisi II DPRD Kota Probolinggo, Riyadlus Sholihin Firdaus dari Partai Gerindra, membenarkan bahwa dr. Evariani telah mengajukan cuti selama lima hari, terhitung 11 hingga 15 Agustus 2025.
“Terkait izin dari Kementerian Dalam Negeri, saya tidak tahu. Yang saya tahu hanya cuti dan disampaikan secara lisan,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (14/8/2025).
Riyadlus juga menegaskan bahwa DPRD Kota Probolinggo tidak memiliki agenda resmi kunjungan kerja ke Malaysia pada tanggal tersebut.
Menanggapi hal ini, Ketua LSM PASKAL Probolinggo, Sulaiman, menyatakan bahwa publik berhak mendapatkan penjelasan resmi. Menurutnya, aturan izin perjalanan luar negeri anggota DPRD bukan formalitas semata, tetapi bentuk akuntabilitas pejabat publik kepada masyarakat.
“Aturannya jelas. Kalau tidak sesuai prosedur, ini patut dipertanyakan. Publik berhak tahu apakah aturan ini dilanggar atau tidak,” tegas Sulaiman.
Ia juga mengingatkan agar kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik.
“Jangan sampai ada kesan perjalanan luar negeri dijadikan ajang plesiran atas nama jabatan, sementara rakyat menunggu kerja nyata di lapangan,” tambahnya.
Hingga kini, Pemerintah Kota Probolinggo dan DPRD belum memberikan penjelasan terbuka mengenai dasar hukum perjalanan luar negeri tersebut. Tanpa transparansi, isu ini berpotensi berkembang menjadi badai politik yang dapat memengaruhi citra pemerintah daerah dan DPRD di mata publik. (Edi D/Red/**)