Jakarta – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya PSU berulang yang dapat mencederai proses demokrasi di Indonesia. Dalam pernyataannya, Bima Arya juga menekankan bahwa komitmen politik tanpa intervensi dari pihak manapun merupakan kunci untuk menjaga integritas dalam proses pemilu.
Pernyataan tersebut disampaikan Bima Arya pada saat Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), yang turut dihadiri oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta, pada Senin (5/5/2025). Dalam kesempatan tersebut, Bima menyampaikan bahwa evaluasi terhadap PSU perlu dilakukan secara mendasar agar masalah serupa tidak terulang di masa depan.
Menurutnya, langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan tidak ada celah yang dapat memicu gugatan sejak awal. Untuk itu, pihak terkait perlu melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pembahasan mengenai prosedur berperkara di MK yang lebih teknis. Evaluasi ini, lanjut Bima, tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis penyelenggaraan, tetapi juga dengan aspek politik yang turut mempengaruhi banyaknya PSU.
“PSU tidak terlepas dari nuansa politik yang kuat. Oleh karena itu, kita harus menjaga netralitas dan tidak melakukan intervensi. Komitmen politik tanpa intervensi adalah kunci untuk ke depannya,” ujar Bima Arya dengan tegas. Dalam kesempatan tersebut, Bima juga menegaskan bahwa dirinya bersama Wamendagri Ribka Haluk sudah melakukan pemantauan langsung pelaksanaan PSU di berbagai daerah. Dukungan dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) dan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah (Keuda) turut digerakkan untuk memastikan efisiensi penganggaran dalam pelaksanaan PSU.
Selain itu, Bima juga menanggapi pertanyaan terkait masalah kekosongan kepala desa yang terjadi di sejumlah daerah. Ia menjelaskan bahwa saat ini tengah diberlakukan moratorium pemilihan kepala desa karena bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dan Pemilu. Hal ini dilakukan untuk memastikan kelancaran proses Pilkada dan Pemilu.
Kemendagri kini tengah berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur teknis pemilihan kepala desa, yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Bima juga mengungkapkan bahwa sejak 2013 hingga 2023, Kemendagri telah menerapkan sistem pemilihan kepala desa secara digital (e-voting) di 1.910 desa yang tersebar di 16 provinsi. Ia mengungkapkan bahwa pelaksanaan e-voting sejauh ini berjalan lancar tanpa kendala berarti. Oleh karena itu, Kemendagri berencana untuk mengkaji lebih lanjut penerapan e-voting secara nasional.
“Setelah landasan aturan dan panduan teknisnya jelas, kami akan mendorong pemilihan kepala desa secara digital di seluruh Indonesia,” ungkap Bima. Ia menambahkan bahwa kesuksesan penerapan e-voting di tingkat desa ini dapat menjadi langkah awal menuju digitalisasi Pilkada, Pemilu Legislatif (Pileg), hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) di masa depan.
(Edi D/Puspen Kemendagri)