Tangerang – Di tengah keluhan warga yang setiap hari harus berjibaku dengan jalan rusak bak “neraka lumpur” di Jalan Raya Kramat, Pakuhaji, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang justru menggelontorkan anggaran fantastis sebesar Rp 70 miliar untuk membangun Mal Pelayanan Publik (MPP).
Keputusan itu kini menjadi sorotan publik, dianggap sebagai bentuk “prioritas yang menyimpang” dan pemborosan anggaran di tengah krisis infrastruktur dasar.
Keluhan warga pun menggema di media sosial. Banyak yang mengunggah video jalan berlubang, kendaraan mogok, hingga warga yang harus mendorong motor karena terperosok di genangan air.
“Setiap hari kami lewat sini, motornya bisa mogok, sandal putus, kadang jatuh. Tapi pemerintah malah bangun mal,” keluh seorang warga dalam unggahan yang viral di platform X.
Ironisnya, di saat masyarakat menunggu aksi nyata memperbaiki jalan, Pemkab Tangerang justru memilih mengalokasikan dana jumbo untuk proyek MPP yang disebut-sebut berfungsi meningkatkan efisiensi layanan publik.
Namun, sebagian besar warga menilai proyek tersebut hanya mempercantik citra birokrasi, bukan menjawab kebutuhan mendesak rakyat.
Kontradiksi Anggaran: “Gedung Baru vs Jalan Berlubang”
Para pengamat kebijakan publik menilai proyek MPP dengan nilai Rp 70 miliar itu menunjukkan ketimpangan prioritas yang mencolok.
“Ini persoalan sense of crisis. Di saat masyarakat berteriak soal jalan rusak dan layanan dasar yang minim, Pemkab malah sibuk membangun simbol kebanggaan,” ujar seorang analis kebijakan dari LSM lokal.
Kontradiksi tersebut memperlihatkan pola pembangunan berbasis gengsi, bukan kebutuhan. Banyak pihak menyebut bahwa Pemkab lebih tertarik meninggalkan “jejak visual” berupa gedung megah daripada memastikan kesejahteraan warga di pelosok desa.
Temuan BPK Perkuat Dugaan Salah Kelola
Kritik terhadap Pemkab Tangerang semakin tajam setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Banten mengungkap adanya 33 proyek jalan, irigasi, dan jaringan (JIJ) yang tidak sesuai kontrak, dengan nilai kerugian mencapai Rp 1,89 miliar pada tahun anggaran 2024.
Temuan ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan dugaan pembiaran terhadap proyek infrastruktur yang justru menjadi kebutuhan utama masyarakat.
“Beberapa jalan yang diperbaiki tahun lalu sudah rusak lagi, padahal baru setahun,” ungkap warga lainnya. “Kalau uang rakyat dipakai untuk mal, lalu jalan siapa yang perbaiki?”
Dari catatan BPK, sejumlah proyek bahkan gagal memenuhi spesifikasi teknis dan mengalami penyimpangan volume pekerjaan. Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa pembangunan fisik di Kabupaten Tangerang sarat dengan praktik inefisiensi dan lemahnya kontrol anggaran.
Pemimpin Daerah Dituding “Absen di Lapangan”
Sorotan publik juga mengarah langsung kepada Bupati Tangerang Moch. Maesyal Rasyid.
Di berbagai forum daring, muncul komentar sinis seperti, “Bupatinya ada di mana? Rakyatnya lewat lumpur, beliau duduk di kantor.”
Sentimen itu mencerminkan kekecewaan warga terhadap kepemimpinan yang dianggap jauh dari realitas di lapangan.
Meski kritik terus mengalir, hingga berita ini diterbitkan (Jumat, 11 Oktober 2025), pihak Pemkab Tangerang belum memberikan klarifikasi resmi. Baik Bupati maupun Dinas terkait seperti Dinas Bina Marga dan Dinas PUPR, belum menanggapi permintaan konfirmasi media terkait alokasi Rp 70 miliar tersebut.
Publik Menuntut Transparansi dan Audit Anggaran
Masyarakat kini menuntut agar anggaran proyek MPP ditinjau ulang dan dilakukan audit independen terhadap penggunaan dana publik di Kabupaten Tangerang.
Pertanyaan yang mengemuka di ruang publik pun menggigit:
Apakah benar Rp 70 miliar untuk MPP lebih mendesak dibandingkan keselamatan warga di jalan rusak?
Mengapa temuan kerugian Rp 1,89 miliar dalam proyek infrastruktur dibiarkan tanpa tindakan tegas?
Dan apakah proyek MPP ini sekadar menjadi “monumen politik” menjelang masa akhir jabatan?
Hingga kini, jawaban-jawaban itu belum muncul. Sementara rakyat di Pakuhaji, Teluknaga, dan sekitarnya masih harus melintasi jalan yang sama—berlubang, tergenang, dan penuh risiko.
Kesimpulan: Antara Citra dan Rasa
Kasus ini menggambarkan potret nyata ketimpangan pembangunan di daerah penyangga ibu kota.
Di satu sisi, pemerintah daerah ingin tampil modern lewat pembangunan gedung pelayanan publik megah.
Namun di sisi lain, jalan menuju pelayanan itu sendiri masih bergelut dengan lumpur dan genangan air.
Apabila transparansi tidak segera dibuka dan pengawasan diperketat, bukan tidak mungkin proyek MPP senilai Rp 70 miliar ini akan menjadi simbol baru dari salah urus dan kegagalan empati terhadap rakyat.
(Edi D/Redaksi /PRIMA/**)