Lamongan — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) berkedok “sumbangan wajib” mencuat di lingkungan SMA Negeri 1 Ngimbang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Berdasarkan keterangan sejumlah wali murid, pihak sekolah diduga bekerja sama dengan Komite Sekolah dalam menetapkan nominal sumbangan pendidikan yang bersifat wajib dan mengikat.
Praktik ini dinilai telah melanggar asas sukarela dan non-mengikat, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menegaskan bahwa sumbangan pendidikan tidak boleh dipaksakan atau ditetapkan jumlahnya secara spesifik.
Dugaan Skema Pungli Terselubung
Informasi yang diperoleh media ini menyebutkan bahwa sekolah bersama komite meminta sumbangan dari para wali murid melalui skema tiga opsi nominal, yaitu Rp3.500.000, Rp3.750.000, dan Rp4.000.000. Wali murid “didorong” untuk memilih salah satu dari tiga pilihan tersebut.
Salah satu wali murid yang enggan disebut namanya mengaku terpaksa memilih nominal terendah lantaran takut keputusan itu berdampak buruk terhadap perlakuan terhadap anaknya di sekolah.
“Kami diminta memilih antara tiga opsi itu, tapi seolah semua wajib bayar. Kalau tidak, takut anak kami diperlakukan berbeda,” ujarnya dengan nada kecewa.
Skema seperti ini dinilai menyimpang dari prinsip sukarela, karena nominal telah ditentukan dan sifatnya memaksa. Dalam praktiknya, istilah “sumbangan” hanya menjadi kedok administratif untuk memuluskan pungutan, agar terlihat seolah legal di mata publik.
Melanggar Regulasi Pendidikan Nasional
Sesuai Pasal 10 Permendikbud No. 75 Tahun 2016, Komite Sekolah dilarang melakukan pungutan yang bersifat wajib, mengikat, atau menentukan jumlah nominal tertentu. Komite hanya diperbolehkan menerima sumbangan yang diberikan atas dasar kerelaan tanpa paksaan.
Penetapan nominal dalam kasus ini secara jelas telah mengubah status “sumbangan” menjadi “pungutan wajib”, yang tergolong pelanggaran hukum administrasi dan berpotensi termasuk dalam kategori pungutan liar (pungli) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli).
Tekanan Psikologis dan Ketidakadilan bagi Wali Murid
Wali murid mengaku merasakan tekanan psikologis akibat mekanisme pengumpulan dana tersebut. Mereka khawatir jika tidak mengikuti “sumbangan wajib” itu, anak-anak mereka akan mendapatkan perlakuan diskriminatif di sekolah.
“Kami sadar pendidikan butuh biaya, tapi cara seperti ini tidak manusiawi. Ini sekolah negeri, bukan sekolah swasta elite,” keluh wali murid lainnya.
Praktik semacam ini menimbulkan keresahan di kalangan orang tua siswa dan menodai prinsip pendidikan gratis di sekolah negeri. Terlebih, tidak ada transparansi penggunaan dana tersebut, sehingga menimbulkan kecurigaan publik terhadap aliran dan pengelolaan uang hasil pungutan.
Desakan Publik: Investigasi dan Sanksi Tegas
Kasus ini kini menuai perhatian dari kalangan pemerhati pendidikan dan masyarakat Lamongan. Mereka mendesak Inspektorat Daerah dan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur segera melakukan investigasi mendalam dan tidak menoleransi praktik yang berpotensi mencoreng wajah dunia pendidikan negeri.
Apabila terbukti benar adanya pelanggaran, maka:
- Dana hasil pungutan wajib tersebut harus dikembalikan sepenuhnya kepada wali murid.
- Kepala sekolah dan Komite Sekolah yang menetapkan nominal sumbangan harus dikenakan sanksi administratif berat, sesuai regulasi pendidikan dan aturan anti-pungli yang berlaku.
- Pemerintah Provinsi Jawa Timur diminta memastikan agar seluruh sekolah negeri di wilayahnya menerapkan prinsip pendidikan bebas pungli, transparan, dan berkeadilan.
Pendidikan Negeri Harus Bebas dari Beban Ilegal
Skandal dugaan pungli di SMA Negeri 1 Ngimbang ini menjadi pengingat keras bagi seluruh lembaga pendidikan negeri, bahwa setiap bentuk pemungutan yang bersifat wajib tanpa dasar hukum yang sah adalah pelanggaran serius.
Masyarakat berharap pemerintah bertindak cepat dan tegas, agar tidak muncul anggapan bahwa dunia pendidikan menjadi lahan empuk untuk mencari keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan kepercayaan publik.
“Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membebani.”
Kini semua mata tertuju pada langkah Dinas Pendidikan Jawa Timur dalam menuntaskan kasus ini secara transparan dan berkeadilan.
(Edi D/Red/PRIMA/*)