Probolinggo — Gelombang kritik mengalir deras pasca pengesahan kebijakan baru oleh DPRD Kota Probolinggo yang memberikan izin operasional bagi sejumlah tempat hiburan malam seperti panti pijat, karaoke, dan diskotik. Salah satu aktivis anti korupsi dari LSM PASKAL, Selamet, secara tegas menyayangkan keputusan tersebut yang dinilai bertentangan dengan norma moral dan nilai keagamaan masyarakat Kota Probolinggo.
Dalam pernyataannya kepada media ini, Selamet menegaskan bahwa DPRD dan Pemerintah Kota seharusnya mempertimbangkan dampak sosial dan moral dari kebijakan yang diambil.
“Kenapa kebijakan seperti ini disahkan? Yakin tidak akan terjadi kemaksiatan? Siapa yang akan bertanggung jawab atas dosa semua itu, DPRD kah, Wali Kota kah?” tegas Selamet dengan nada kecewa, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi besar memicu perselingkuhan, perceraian, hingga degradasi moral masyarakat. “Kebijakan ini bukan hanya soal hiburan, tapi soal arah moral bangsa. Pemerintah daerah seharusnya menjadi benteng, bukan pembuka jalan bagi kemaksiatan,” ujarnya.
Sorotan Publik dan Kekecewaan Warga
Kritik senada datang dari kalangan warga. Seorang ibu rumah tangga di Kota Probolinggo yang enggan disebut namanya turut menyayangkan langkah DPRD.
“Kami khawatir, tempat seperti itu hanya akan menambah masalah rumah tangga. Banyak keluarga bisa rusak karena perselingkuhan yang bermula dari tempat hiburan,” ucapnya.
Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran publik bahwa izin tempat hiburan yang terlalu longgar dapat berimplikasi pada meningkatnya kasus moral dan sosial di lingkungan masyarakat.
PKB Jadi Satu-Satunya Fraksi yang Menolak
Dari informasi yang beredar, hanya Fraksi PKB yang secara tegas menolak pengesahan kebijakan tersebut. Sementara sebagian besar fraksi lainnya di DPRD Kota Probolinggo diketahui menyetujui pembukaan tempat hiburan tersebut.
Langkah politik ini pun memunculkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, mengingat sebagian besar anggota dewan dikenal berlatar belakang religius dan berasal dari partai yang berbasis keislaman.
GP Ansor Dinilai Diam, LSM PASKAL: “Kemana Suara Moral Itu?”
Selain menyoroti DPRD dan Wali Kota, Selamet juga menyinggung sikap diam Ketua GP Ansor Kota Probolinggo, Salamul Huda, yang hingga kini belum memberikan tanggapan terbuka atas kebijakan tersebut.
“Saya heran, di mana suara GP Ansor yang selama ini dikenal sebagai garda moral Nahdliyin? Mengapa mereka diam seribu bahasa?” kritiknya.
Menanggapi hal itu, Salamul Huda saat dikonfirmasi media ini menjelaskan bahwa pihaknya masih melakukan koordinasi internal.
“Kami sedang berkoordinasi dengan para kiai, PCNU, dan tokoh agama di Kota Probolinggo. Karena kami di bawah naungan PCNU, tentu semua harus melalui arahan dan musyawarah para ulama,” jelasnya singkat.
Wali Kota Tegaskan Ada Payung Hukum
Sementara itu, Wali Kota Probolinggo, Dr. Aminuddin, yang disampaikan di beberapa media menegaskan bahwa investor yang mengajukan izin telah memiliki kekuatan hukum.
“Ini sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Investor memiliki hak secara legal untuk membuka usaha tersebut,” ujar Aminuddin.
Pernyataan ini menandakan bahwa pemerintah kota berdiri pada posisi legal formal, bukan moral atau agama, meskipun menuai kritik dari berbagai pihak.
Moralitas vs Investasi
Kontroversi ini membuka perdebatan panjang antara kepentingan ekonomi dan nilai moral di tengah masyarakat Probolinggo.
Di satu sisi, pemerintah daerah beralasan bahwa pembukaan tempat hiburan bisa mendorong investasi dan membuka lapangan kerja. Namun di sisi lain, aktivis dan kalangan religius menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur dalam menjaga moralitas publik.
Hingga kini, masyarakat masih menunggu sikap tegas dari lembaga keagamaan seperti PCNU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Probolinggo terhadap kebijakan yang dinilai sarat kontroversi tersebut.
(Edi D/Bambang/Redaksi)