banner 728x250

Dedengkot LSM GEMPAR Singgung Rumor Wartawan Pemeras Kepala Desa 

Dedengkot LSM GEMPAR Singgung Rumor Wartawan Pemeras Kepala Desa 
banner 120x600
banner 468x60

Gresik, 16 Mei 2025 – Maraknya kasus penangkapan wartawan yang dituduh melakukan pemerasan di beberapa wilayah hukum Indonesia semakin memperburuk citra profesi jurnalistik. Isu yang terus berulang ini menunjukkan betapa sulitnya posisi wartawan di tengah upaya mereka mengungkap berbagai kasus penyimpangan di pemerintahan maupun instansi lain.

Kabar terbaru yang menjadi sorotan hangat di kalangan jurnalis adalah penangkapan tiga orang wartawan yang diduga memeras Kepala Desa Surenlor, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek. Ketiga wartawan itu dilaporkan meminta uang agar tidak memberitakan penyelewengan yang mereka temukan di desa tersebut. Namun, ada sisi lain dari cerita ini yang diangkat oleh Dedengkot DPP LSM GEMPAR, yang menolak keras stigma wartawan sebagai pemeras.

banner 325x300

Bang Tyo, sapaan akrab Dedengkot LSM GEMPAR, memberikan pernyataan yang cukup tajam dan logis terkait isu ini. Ia menegaskan bahwa wartawan sejatinya tidak pernah meminta atau memeras siapapun. Menurutnya, tugas wartawan adalah mengkonfirmasi dan mengklarifikasi fakta yang ditemukan. Jika ada pihak yang merasa tidak nyaman dengan pemberitaan, itu adalah tanggung jawab narasumber untuk menjawab atau menyangkal, bukan malah menuding wartawan sebagai pemeras.

“Tidak ada wartawan yang meminta-minta atau memeras. Biarkan mereka bekerja sesuai dengan tugasnya. Wartawan datang untuk klarifikasi, narasumber tinggal jawab iya atau tidak. Jangan menggoreng profesi wartawan sesuka hati,” tegas bang Tyo.

Lebih lanjut, bang Tyo menyoroti bahwa seringkali tuduhan pemerasan ini tidak berlandaskan fakta, bahkan terkadang justru muncul dari inisiatif pejabat atau kepala desa yang ingin membungkam kritik. Ia mencontohkan kejadian di Trenggalek, di mana kepala desa memberikan uang sebesar lima juta rupiah kepada wartawan sebagai bentuk upaya menutup-nutupi suatu persoalan.

“Bagaimana mungkin kepala desa mau memberi uang sebesar itu kalau tidak ada sesuatu yang ingin ditutup-tutupi? Kalau memang tidak ada masalah, kenapa harus membungkam wartawan dengan amplop?” ujar bang Tyo dengan nada penuh logika.

Fenomena ini, menurut bang Tyo, merupakan akar permasalahan dalam hubungan antara wartawan dan pejabat. Upaya untuk menutup celah kritik dan membungkam proses konfirmasi justru memperburuk sistem pengawasan publik. Ketika wartawan datang untuk menanyakan sesuatu, yang mereka terima malah amplop uang sebagai tanda tutup mulut.

“Kalau oknum wartawan menerima uang dari kepala desa lalu disebut pemeras, lalu kepala desa itu harus dikatakan apa? Jangan pura-pura bodoh, insting masyarakat sudah tajam saat ini,” tambahnya.

Bang Tyo menegaskan bahwa relasi transaksional antara wartawan dan pejabat tidak muncul begitu saja. Pelemahan profesi jurnalistik bermula dari sistem yang korup dan pejabat yang tidak siap diawasi secara transparan.

Pernyataan keras ini menjadi teguran bagi para pemangku kebijakan yang alergi terhadap pengawasan publik. Wartawan adalah pilar demokrasi, bukan alat tawar-menawar uang atau proyek.

“Wartawan itu datang untuk bertanya, bukan untuk meminta. Jika ada yang merasa terganggu, itu bukan masalah etik, melainkan niat dari pihak yang ingin menutupi sesuatu,” pungkas bang Tyo. (***)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *